A. Sejarah Hidup
Jean
Frederic Joliot lahir di Paris, Perancis pada tanggal 19 Maret 1900, anak
keenam dari Henri Joliot dan Emilie Roederer. Pada umur sepuluh tahun ia masuk
Lycee Lakanal, suatu asrama sekolah yang terletak di bagian selatan Paris.
Setelah kematian bapaknya, ia dipindahkan ke Ecole de Physique et Chimie di Paris. Setelah lulus
dari Ecole de Physique et Chimie di Paris tahun 1925,
Joliot bekerja sebagai asisten Maria Skłodowska-Curie
di Institut
Radium Paris. Joliot bertemu puteri
Marie Curie, Irène saat
bekerja di lembaga tersebut dan menikahinya pada 1926
dan mengubah nama panggilan mereka ke Joliot-Curie. Sebelas bulan kemudian,
putri mereka Hélène, dilahirkan, yang akan juga menjadi suatu ahli ilmu fisika.
Putra mereka, Pierre, suatu ahli ilmu biologi, dilahirkan pada tahun 1932.
Joliot
menerima gelar
doktor dalam sainsnya pada tahun 1930
untuk penelitiannya dalam elektrokimia dan unsur
radioaktif. Joliot dan istrinya berkolaborasi dalam
studi proyeksi inti atom yang merupakan suatu langkah penting
dalam penemuan netron dan positron dan
dalam bidang lain di fisika nuklir. Tim Joliot-Curie membuat penemuan
monumentalnya pada 1934 saat mereka memproduksi unsur
radioaktif buatan pertama. Penemuan ini membuat
tim Joliot-Curie memenangkan Hadiah Nobel Kimia
1935
"untuk sintesis mereka pada unsur radioaktif baru". Sumbangan
Joliot-Curie amat penting bagi kemajuan fisika nuklir dan memberi sumbangan
bagi bom atom pertama.
Pada tahun
1937 ia meninggalkan Radium Institut dan diangkat sebagai Profesor di Collège
de France dan ia mulai membangun pusat riset nuklir. Dengan teman-temannya, ia
menemukan bahwa reaksi berantai pada uranium mempunyai keteraturan. Joliot
meneruskan riset pembuatan kesatuan zat uranium atom menggunakan uranium dan air keras,
sehingga ia menerima 5 paten antara tahun 1939
dan 1940. Keterlibatannya dalam gerakan
Résistance selama pendudukan Nazi
di Prancis selama PD II membuat Joliot menjadi Pimpinan Front Nasional dan
mendirikan Partai Komunis Perancis. Frédéric Joliot
diangkat sebagai Komisaris Tinggi untuk Energi Atom pada 1946.
Pada 1948, ia mengarahkan pembangunan kesatuan zat
uranium atom pertama Prancis dengan bantuan istrinya. Perubahan iklim politik
di Perancis dan ikatan Joliot pada Partai Komunis mengakibatkan ia
disingkirkan dari Komisi
Energi Atom pada 1950. Setelah kematian istrinya
pada 1956, Joliot diangkat sebagai Ketua Fisika
Nuklir di Universitas Paris.
Joliot meninggal pada tanggal 14 Agustus 1958 di Paris.
B. Sejarah Penemuan Konsep
Kehadiran gaya tolak listrik antara proton dan pendeknya
jangkauan gaya inti menyebabkan inti dengan nomor atom dan nomor massa tinggi
menjadi tak stabil. Bila mengalami gangguan, strukturnya berubah dengan
memancarkan sinar radioaktif: alfa (inti helium), beta (elektron), dan gamma
(sinar-X yang lebih kuat). Inilah yang memungkinkan transmutasi inti buatan
untuk menghasilkan unsur baru.
Kesulitan menggunakan partikel bermuatan listrik (partikel
alfa dan proton) untuk transmutasi inti atom berat, akibat tolakan gaya
listrik, mengalihkan perhatian para fisikawan pada partikel neutron yang sama
sekali bebas dari pengaruh gaya listrik. Sayang, jumlah neutron yang
dipancarkan unsur-unsur radioaktif alam amat sedikit. Partikel alfa dari 1 gram
radium hanya mampu menendang keluar sekitar 10 juta buah neutron per detik dari
pelat berilium. Walau berkas neutron ini mampu menembus inti atom berat,
jumlahnya masih sangat sedikit daripada yang dibutuhkan.
Dalam upaya meningkatkan jumlah neutron ini, fisikawan
Frederic dan Irene Joliot-Curie, dari Paris, di tahun 1934 memberi sumbangan
berarti dengan menggunakan sumber polonium, yang lebih aktif dari radium.
Pancaran berkas partikel alfa yang sangat kuat dari sumber polonium ini
kemudian mereka tembakkan pada berbagai bahan-seperti boron, alumunium,
magnesium-dengan harapan jumlah neutron yang dihasilkan akan meningkat.
Ketika mengarahkan seberkas neutron, hasil tembakan
partikel alfa pada selembar lempengan alumunium, ke dalam detektor
"kamar-kabut Wilson", mereka mengamati kehadiran sejumlah jejak yang
ditinggalkan partikel-partikel ringan yang sama beratnya dengan elektron,
tetapi bermuatan listrik positif. Mereka lalu berkesimpulan partikel berkas ini
adalah positron, yang adalah partikel "anti-elektron" yang diramalkan
fisikawan teori Inggris, Paul Adrien Maurice Dirac, enam tahun sebelumnya,
dengan menggunakan teori kuantum dan relativitas Einstein.
Yang menarik di sini adalah gejala berikut. Apabila sumber
partikel alfa diambil (lempengan aluminiumnya tak lagi ditembaki) ternyata
neutronnya lenyap sesuai dengan yang diperkirakan. Yang aneh adalah pancaran
positronnya tetap saja berlangsung, tetapi dengan laju pancaran yang makin
turun: berkurang dengan faktor 2 setiap 2,5 menit. Semula tidak diketahui bahwa
terdapat unsur radioaktif lain yang memiliki usia-paruh seperti ini: 2,5 menit.
Lagi pula, gejala baru ini sangat berbeda dari keradioaktifan alami yang lazim
karena begitu pelat aluminiumnya ditembaki kembali dengan partikel alfa,
pemancaran positron kembali berlangsung. Hasil eksperimen ini memberi kesan
tumbukan partikel alfa membentuk suatu unsur radioaktif baru dalam alumunium,
dengan usia paruh 2,5 menit, yang peluruhannya diikuti dengan pancaran
positron.
Dari hasil analisis yang lebih saksama disimpulkan, inti
atom alumunium setelah menangkap partikel alfa akan menendang keluar sebuah
proton dan bertransmutasi menjadi inti isotop fosfor. Karena isotop fosfor ini
tak stabil, ia langsung meluruh dengan memancarkan sebuah positron, yang
terjadi apabila sebuah proton berubah menjadi neutron. Dengan demikian, isotop
fosfor tak stabil tadi bertransmutasi menjadi inti baru yang nomor atomnya
berkurang satu karena ia kehilangan satu muatan positif. Ini adalah inti atom
silikon.
Hasil ini memperlihatkan pasangan suami istri,
Joliot-Curie, telah berhasil mentransmutasi inti atom buatan yang bersifat
radioaktif! Temuan mereka ini dipandang sebagai suatu terobosan penting dalam
perkembangan ilmu kimia sehingga panitia Nobel terdorong menganugerahi hadiah
Nobel kimia, tahun 1935, kepada mereka.
C.
Pengembangan
Konsep
Temuan sensasional di atas menggelitik fisikawan muda
Italia, Enrico Fermi (1901-1954), yang pada tahun 1930 mulai bekerja di
Universitas Roma. Ia dan rekan-rekannya, Edoardo Amaldi, Franco Rasetti, dan
Emilio Segre, berencana menembaki inti atom berbagai unsur, mulai dari yang
teringan, menggunakan neutron yang bersumber dari unsur radon-berilium untuk
mempelajari hasil reaksi apa saja yang bakal terjadi. Untuk analisis kimia
terhadap hasil reaksinya, mereka melibatkan pula kimiawan Oscar D'Agostino.
Ketika mereka menembaki unsur-unsur ringan-mulai dari: hidrogen,
litium, berilium, boron, dan karbon-hasilnya nihil! Tak ada unsur radioaktif
buatan yang terbentuk. Hasil positif pertama barulah tampak dengan unsur
nitrogen. Kegagalan mereka dengan unsur-unsur ringan ini ternyata tak
seluruhnya berakhir dengan tangan kosong. Hasil sampingan yang mereka dapati
adalah bahwa bila neutron ditembakkan pada air atau parafin (karbon), maka
kecepatannya menurun! Peristiwa ini sama halnya dengan tumbukan antara sebuah
bola biliar dan beberapa bola biliar lain yang diam di atas meja biliar. Dalam
setiap tumbukan, energi geraknya dialihkan ke bola biliar tertumbuk yang diam.
Akibatnya, setelah mengalami beberapa kali tumbukan, energi gerak bola biliar
penumbuk makin berkurang. Dengan demikian, menurun pula kecepatannya. Air dan
parafin, karena itu, berperan sebagai moderator (pelambat neutron). Hasil
sampingan ini ternyata kelak memainkan peranan penting dalam rekayasa reaktor
atom.
Eksperimen itu mereka lakukan tahun 1934. Dan benar, mereka
dapati bahwa uranium-238 (salah satu isotop uranium) yang ditembaki dengan
neutron lambat ternyata menjadi lebih radioaktif daripada semula dengan
memancarkan sinar beta. Kenyataan ini sungguh aneh, mengingat uranium lazimnya
meluruh dengan memancarkan sinar alfa. Mereka lalu mencurigai, barangkali telah
terbentuk unsur-unsur radioaktif buatan baru seperti yang mereka duga. Setelah
melakukan analisis karakteristik kimia terhadap unsur-unsur hasil reaksi ini,
mereka dapati bahwa tak satu pun yang berupa isotop dari unsur bernomor atom
rendah yang dikenal, seperti protaktinium (Z=91), torium (90), radium (88), dan
timah hitam (82).
Karena peluruhan tak lazim uranium dengan memancarkan sinar
beta menaikkan nomor atom unsur anak sebanyak satu, Fermi dan kelompok
penelitinya lalu menyimpulkan bahwa mereka telah menghasilkan unsur buatan baru
dengan nomor atom yang lebih tinggi daripada uranium.
Temuan Fermi dkk membangkitkan rasa ingin tahu yang besar
di kalangan fisikawan nuklir dewasa itu, yang kemudian mengulangi percobaan
Fermi dkk dan mencoba memisahkan secara kimia serta mempelajari ciri khas
masing- masing unsur transuranik yang diduga terbentuk itu. Hasil eksperimen
mereka tampaknya mendukung dugaan Fermi dkk. Namun, tak satu pun yang berhasil
memisahkan unsur transuranik "dugaan" yang mereka hasilkan dari
uranium.
Seorang fisikawan wanita Jerman, Ida Noddack (1896- 1978),
malah mengkritik kesimpulan terbentuknya unsur-unsur transuranik oleh Fermi
dkk. Makalahnya yang diterbitkan September 1934 dalam jurnal Zeitschrift fur
Angewandte Chemie menunjukkan bahwa pembuktian Fermi dengan membandingkan unsur
radioaktif barunya dengan unsur bernomor atom dari uranium (92) hingga timah
hitam (82) tidak cukup membuktikan kehadiran unsur transuranik. Fermi dkk
seharusnya membandingkannya pula dengan semua unsur radioaktif lain yang telah
diketahui sebab ada kemungkinan inti atom uranium yang ditembaki neutron
"terbelah" ke dalam inti atom radioaktif dengan nomor yang lebih
kecil daripada 82.
Gagasan Ida Noddack ini ternyata tak mendapat perhatian serius
karena tak sejalan dengan pandangan mapan saat itu tentang "kekakuan"
inti atom untuk membelah diri. Jadi, tinggallah satu-satunya pertanyaan yang
harus dijawab: apakah Fermi dkk telah berhasil menemukan unsur transuranik?
Penelitian secara lebih saksama terhadap kehadiran unsur-unsur transuranik ini
kemudian dilakukan oleh ilmuwan fisika-kimia Jerman, Otto Hahn (1879-1968), dan
rekannya ilmuwan fisika-kimia wanita Lise Meitner (1878-1968) asal Austria,
pada Institut Kaisar Wilhelm di Berlin. Kerja keras mereka akhirnya membuahkan
hasil: ditemukannya bukti meyakinkan bahwa isotop radioaktif yang ditemukan
Fermi dkk itu memang adalah isotop transuranik bernomor atom 93!
Penelitian mereka bertiga terhadap unsur-unsur transuranik
kemudian dilanjutkan Hahn dan Strassman dengan hasil yang makin membingungkan!
Desember 1938 Hahn dan Strassman menemukan sesuatu yang aneh! Ketika mereka
melakukan analisis kimia yang lebih saksama terhadap inti atom hasil penembakan
neutron lambat pada isotop uranium-238, mereka dapati bahwa salah satu dari
hasil reaksinya memiliki sifat kimia mirip unsur barium yang bernomor atom 56,
sangat jauh dari nomor atom uranium: 92? Temuan ini benar-benar membingungkan
sebab sangat bertentangan dengan pendapat mapan saat itu: seharusnya unsur-unsur
hasil reaksi ini memiliki nomor atom lebih kecil, tetapi dekat-dekat ke unsur
uranium (paling jauh 88) atau yang lebih besar (93, 94, dan seterusnya).
Rupanya gagasan Noddack tentang kemungkinan
"terbelahnya" inti uranium sama sekali tak berbekas dalam benak
mereka dalam upaya mencari jawaban ini. Temuan Hahn dan Strassman ini kemudian
dikomunikasikan Hahn lewat surat kepada Meitner di Stockholm. Ketika Otto
Robert Frisch (1904-1979), yang adalah keponakan Meitner, mengunjunginya saat
liburan Natal 1938, ia menyampaikan berita yang diperolehnya dari Hahn kepada
Frisch. Otto Frisch, fisikawan Austria, saat itu peneliti pada Institut Niels
Bohr di Kopenhagen, Denmark. Awalnya Frisch tak begitu tertarik pada berita
hasil percobaan Hahn-Strassman yang disampaikan tantenya itu. Karena seperti
para fisikawan lain, Frisch dan juga tantenya menduga inti uranium sangatlah
"kaku" sehingga sulit baginya terbelah ke dalam inti-inti atom
ringan.
Namun, keteguhan Meitner akan kebenaran hasil percobaan
Hahn dan Strassman akhirnya membuka ingatan Frisch kepada teori "model
tetes cairan" inti atom berat usulan Niels Bohr dan Fritz Kalckar (pada
tahun 1936) yang didengarnya dalam sebuah seminar di Institut Niels Bohr.
Menurut model ini, inti atom berat mirip setetes cairan yang sama sekali
"tak kaku"; kestabilannya tercapai karena ada perimbangan antara gaya
tolak listrik antarproton yang berjangkau jauh dan gaya inti pengikat nukleon
yang berjangkau pendek.
Ketika sebuah neutron atau partikel lain diserap sebuah inti
atom berat, partikel yang ia "telan" itu mengubah bentuknya menjadi
lonjong, seraya memberikannya tambahan energi ketakstabilan, yang kemudian
dilepaskannya kembali dalam bentuk pancaran partikel neutron, radiasi sinar
radioaktif, atau proses lain yang berpeluang terjadi. Frisch tersentak dan
muncul pemikiran baru: Uranium setelah menangkap neutron lambat berbentuk
melonjong dan, seperti tetes cairan, terbuka kemungkinan baginya terbelah jadi
dua, seperti dua tetes cairan yang lebih kecil ukurannya. Melalui perhitungan
ringkas, Frisch dan tantenya yakin bahwa untuk inti atom seberat uranium,
keseimbangan ini sangat "labil" sehingga tumbukan neutron akan cukup
meruntuhkan keseimbangannya dan sebagai akibatnya, inti atom uranium akan
terbelah menjadi dua bagian. Dalam makalah ini, Frisch mengusulkan nama fision
untuk reaksi pembelahan inti atom uranium ini. Nama ini ia peroleh dari rekan
ahli biologinya di Institut Bohr, yang menunjukkan prosesnya mirip dengan cara
sel-sel organik membelah diri yang dinamai: proses fisi (fision).
Setelah jelas bahwa inti atom uranium dapat membelah diri
ke inti atom yang lebih ringan oleh penembakan dengan neutron, dugaan bahwa
hanyalah unsur-unsur yang lebih berat daripada uranium yang telah terbentuk:
runtuh. Ini mendukung gagasan Noddack tentang kemungkinan terbelahnya inti
uranium ke unsur-unsur yang lebih ringan oleh tembakan neutron.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar